Kesenian Carita Pantun
Carita Pantun adalah salah satu kesenian yang berasal dari Jawa Barat. Carita yang dalam bahasa Indonesia berarti cerita merupakan cerita yang diperankan dalam pantun. Sedangkan pantun ieu sendiri adalah kesenian Sunda yang sekarang hampir punah. Diperkirakan kesenian ini telah ada sebelum abad ke-15 M. Menandakan bahwa budaya seni Sunda berkembang sejak dulu kala.
Hal yang membuat kesenian carita pantun berbeda dengan kesenian Sunda lainnya yaitu adanya jurupantun dan alat musik kacapi pantun yang sama sekali berbeda dengan kacapi pada umumnya. Ukurannya yang lebih besar berbentuk seperti perahu, serta senar yang digunakan biasanya hanya berjumlah 9 senar. Namun saat ini para jurupantun menggunakan kacapi dengan delapan belas senar seperti kacapi pada umumnya. Kekhasan dalam carita pantun tidak hanya itu saja. Ada semacam budaya yang melekat dalam masyarakat Sunda, bahwa biasanya yang menjadi jurupantun adalah seseorang yang tunanetra.
Pada umumnya rangkaian carita pantun tidak jauh berbeda. Diawali dengan Rajah Pamuka, lalu menceriterakan prolog dan memaparkan kerajaan dan asal-usul tokoh utama. Setelah itu cerita dimulai sampai pada akhir cerita, yang ditutup dengan Rajah Pamunah.
Tokoh yang diperankan dalam carita pantun merupakan tokoh yang berbeda dengan kesenian lainnya seperti wayang atau wawacan. Karena tokoh dalam carita pantun yang berupa manifestasi jiwa Sunda kuno yang menampakkan jiwa dan kepercayaan masyarakat Sunda. Dalam carita pantun tergambar jelas filsafat dan kepercayaan nenek moyang masyarakat Sunda yang hidup di alam agraris.
Beberapa judul carita pantun yang dikenal di kalangan masyarakat Sunda seperti Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Mundinglaya, Nyi Pohaci Sanghiang Sri dan sebagainya. Cerita Lutung Kasarung merupakan carita pantun yang dianggap paling sakral oleh masyarakat Sunda.
Persepsi masyarakat Sunda yang menganggap sakral terhadap kesenian carita pantun ini, menjadi suatu kelemahan yang merugikan akan kelestarian kesenian ini. Jurupantun enggan untuk me-mantun-kan tokoh-tokoh yang dianggap sakral, membuat kesenian itu tidak dikenal oleh masyarakat sekarang. Akses untuk bisa melihat kesenian pantun masih lekat dengan ritual-ritual yang rumit dan membutuhkan waktu, biaya, dan mental yang kuat dari jurupantun beserta yang lainnya.
***
Sumber : Ngalanglang Kasusastraan Sunda, Ajip Rosidi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar